Saturday, May 28, 2011

Budaya Berdemokrasi Di Parlemen tak merakyat.

Oleh :WIYONO, S.Pd 
wiyonospd-civiceducation.blogspot.com


Postingan kali ini berangkat dari apa yang terjadi di dunia politik Indonesia yang terus berkembang cepat dan isu praktek korupsi para politisi bangsa ini yang tak lagi tahu diri kepada keadaan rakyatnya.

beginilah hasilnya :

Budaya Demokrasi di Indonesia sekarang ini sudah mengarah pada nilai Liberalisme dan pada budaya pemaksaan kehendak, tak peduli lagi dengan apa yang dirasakan oleh Rakyat atau warga negara. Tak lagi ada rasa empati kembali kepada rakyat. Rakyat hanya diperhatikan ketika event PEMILU akan digelar
dengan harapan mendapat dukungan dari rakyat.

mengambil hikmah  dalam pergaulan masyarakat di pinggiran jalan dengan semangat kesederhanaan, tengoklah mereka , apa yang terjadi ? sebagai sekedar refleksi terhadap rakyat kecil .

Inilah masyarakat Indonesia, sebagai contoh ....

Budaya makan dan nongkrong di Warung HIK di sebagian masyarakat Yogya dan sekitarnya begitu mengesankan bagi para pendatang dan masyarakat tempatan. Warung yang banyak di gelar di pinggiran jalan raya dan di tempat - tempat keramaian begitu menarik orang itu menikmati hidangan yang dijajakan dengan murah meriah dengan suasana Lampu teplok atau lampu kapal

Suasana merakyat dan akrab menyertainya. Lalu ngobrol dari soal sepele sampai masalah politik negara dalam pandangan dan versi mereka . Tentu saja dengan gaya rakyat atau kaum bawah yang tak mampu mengubah keadaan negara. Suasana yang merakyat itu bertahan sampai menjelang larut malam bagi mereka yang hobby begadang. Tempat ini merupakan wadah untuk berteman , bersosialisasi dan lebih serius lagi dijadikan wadah untuk mengkritisi kebijakan politik yang berkembang. Bahkan berdiskusi berbagai macam masalah tanpa moderator namun jarang menimbulkan dethlock dalam membahasnya. Para penikmat wedangan lebih toleran, lebih peduli dan lebih bisa berpikir demokratis serta apa adanya. Ketika selesai mereka pun tetap bisa enjoy walau obrolannya terkadang tak nyambung diantaranya. Layaknya dialog oleh para tokoh Punokawan dalam budaya Jawa.

Lalu lihatlah disana di gedung parlemen, di gedung itu terdiri dari orang - orang pilihan rakyat melalui partai politik.  Mereka bisa duduk di kursi empuk penuh dengan fasilitas gaji dan tunjangan yang besar. Banyaklah kelebihannya, seharusnya mereka bisa berdiskusi dan bermusyawarah soal negara dengan jernih dan elegan, penuh hormat dan empati / kepedulian kepada rakyat sehingga Negara bisa bergerak menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Melepaskan semua kepentingan kelompok dan partai politiknya , di dada mereka harus tertanam mewujudkan aspirasi masyarakat dan tujuan bernegara.

Begitu beda dengan mereka yang berada di kalangan rakyat yang tercermin dalam budaya wedangan yang toleran yang bisa menghargai pendapat sesama mereka. Tanpa mereka sadari mereka telah mempraktekan berdemokrasi versi mereka dengan harapan Negara bisa lebih baik.

Budaya politisi yang bersilat lidah tanpa mempedulikan rakyat seolah menjadi hiasan rutin di media cetak dan elektronik. Politisi yang lupa akan tugas dan fungsinya sesuai amanat rakyat/ aspirasi rakyat. Juga merebaknya kasus korupsi yang dilakukan politisi. Rakyat menjadi kehilangan kepercayaan kepada para legislator. Pembahasan soal negara menjadi lambat dan tersendat sepertinya membuat rakyat tambah menderita.

Lalu apa yang seharusnya para politisi lakukan ? tentu saja wujudkan keinginan rakyat, peduli rakyat, dan berpolitik dengan santun ditandai dengan keteladanan dalam memimpin jauh dari kepentingan kelompoknya dan partai politik, berdebat membela rakyat bukan berdebat untuk berkelit dari jerat hukum.

Gambaran dialog di pewayangan tokoh punokawan, dan obrolan di warung angkringan menjadi simbol rakyat dan sebuah pembelajaran yang merakyat.
Sehingga ada pendapat ternyata rakyat lebih pintar berdemokrasi daripada para legislator, maka Janganlah rakyat diajari praktek berdemokrasi yang tak merakyat. Pastilah akan ditolak dengan tegas.

Jadi tidak ada jaminan pendidikan tinggi, harta dan relasi para anggota Parlemen bisa mempraktekkan demokrasi di era reformasi. Demokrasi di era Reformasi memuat berbagai nilai - nilai universal yang terkandung dalam Demokrasi.

Tentu saja para Anggota Parlemen pernah belajar soal berdemokrasi, jangan abaikan nilai universal demokrasi , sebagai pijakan berdemokrasi menurut versi Penulis :

  1. kebebasan yang terbatas ( bertanggung jawab )
  2. tidak liberalisme
  3. Menghargai kebhinnekaan
  4. Kesadaran dan kedamaian
  5. Kebersamaan dan kesatuan
  6. Kepentingan bangsa dan negara
Berdemokrasi dengan Nilai universal itu ternyata lebih membudaya di rakyat (kalangan bawah) daripada di Parlemen.(politisi).
Bagaimana dan apa yang harus dilakukan , niatkan untuk berubah demi kemajuan Negara Indonesia.
jadikan politik sebagai ladang amal yang mengantarkan Negara Yang Baldatun toyibatun wa robbun goffur sejahtera di lahir dan batin.

Negara yang toto tentrem kerto raharjo. gemah lipah loh jinawi  yang rakyat dambakan.

sekian.



0 komentar: