Tuesday, May 11, 2010

MENGURAI NASIB BAHASA

Mencobalah untuk membaca karya orang, memahaminya, menyimpulkan dan akhirnya menirunya

Mengurai Nasib Bahasa PDF Print
Saturday, 08 May 2010
BAHASA kerap menjadi perkara darurat.Kedaruratan ini ada dalam sejarah (bahasa) Indonesia sejak awal abad XX. Peristiwa Sumpah Pemuda menjadi momentum untuk menginsafi konsensus politikkultural atas pengakuan bahasa Indo-nesia di negeri terjajah ini.

Sejak itu bahasa Indonesia mengalami pelbagai ketegangan dalam ranah politik,seni,sastra,pendidikan, filsafat, sejarah, sosial, jurnalistik, dan kultural. Bahasa Indonesia tumbuh dengan pengharapan dan impian-impian sebagai identitas negara-bangsa. Jejak panjang itu didokumentasikan dalam buku Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (1996) dengan editor Yudi Latif dan Idi S Ibrahim.

Buku fenomenal ini memuat esai dari Ben Anderson, Hilmar Farid, Ariel Heryanto, Goenawan Mohamad, Mochtar Pabotinggi, dan lain-lain. Eksplorasi tentang peran dan makna bahasa Indonesia dalam pelbagai perspektif diajukan dengan niat mencari terang atas nasib dan kemungkinan bahasa Indonesia dalam biografi kekuasaan. Penerbitan buku itu pada masa Orde Baru merupakan ekspresi dari tanggapan kritis dengan tarikan sejarah dan analisis intensif untuk mengurusi kebijakan dan represi rezim Orde Baru melalui bahasa.

Perubahan

Keruntuhan Orde Baru memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang nasib bahasa-bahasa di Indonesia. Ikhtiar memberi jawab dilakukan dengan penerbitan buku Geliat Bahasa Selaras Zaman ini kendati tidak dimaksudkan sebagai sambungan dari buku Bahasa dan Kekuasaan. Buku ini memosisikan diri dalam kepentingan mengeksplorasi wacana bahasa pasca- Orde Baru.

Mikiro Moriyama dalam pengantar mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa di Indonesia usai keruntuhan Orde Baru telah dan sedang mengalami perubahan akibat pelbagai perubahan sosial dan politik. Perubahan besar ini dikuatkan dengan pengaruh arus globalisasi. Pencarian dan pengajuan tanggapan atas pelbagai fakta perubahan di Indonesia itu hadir dalam esai-esai garapan dari para pakar:

Jan van der Putten, Ganjar Hwia, Untung Yuwono, Manneke Budiman, Tim Hassall, Haruya Kagami, Asako Shiohara, George Quinn,Bernard Arps,Mikhiro Moriyama, Thung Ju Lan, Koji Tsuda, Fransisca Handoko, dan Yumi Kitamura. Melani Budianta dalam epilog menyebutkan bahwa mayoritas esai dalam buku ini ingin menanggapi sekian perkara pelik tentang kaitan bahasa dengan persoalan ruang, identitas, yang global, yang nasional, dan yang lokal.

Buku ini bisa memberi gambaran representatif proses kompleks dan dinamisasi bahasa-bahasa di Indonesia dengan pendekatan pada pengguna, kebijakan negara, peran media massa, kontribusi teknologi, represi globalisasi, atau kearifan lokalitas. Bahasa dalam konteks pasca-Orde Baru mengalami pembebasan dan perubahan besar. Ekspresi pembebasan itu tampak dari pilihan-pilihan penggunaan bahasa daerah, bahasa Indonesia, atau bahasa asing dengan niat “pembatuan” atau “pembaruan.”

Keprihatinan, kelegaan, kepuasan, ketakjuban, ketakutan, atau kegirangan terasakan dalam pelbagai esai ketika mengajukan deskripsi, analisis, dan konklusi terkait dengan kekalahan atau kegenitan bahasa-bahasa di Indonesia. Jan van der Pitten menengarai ada ideologisasi dalam kelahiran dan pertumbuhan bahasa di Indonesia karena peran kolonial.

Bahasa disemaikan karena ada pamrih politik untuk penjinakan atau kontrol. Tendensi ini memang terasa politis, tapi pelacakan atas kebenaran wacana ini ingin dibuktikan kendati memerlukan data-data dari pelbagai fragmen zaman. Asumsi ini disandarkan pada pernyataan Henk Maier (1993) bahwa ‘bahasa’ di Indonesia diciptakan oleh ahli bahasa dan pendidik Belanda untuk mengatasi heterogenitas bahasa-bahasa di Nusantara.

Nasib

Relasi bahasa dan politik dalam ekspresi bahasa-bahasa daerah terasakan dalam esai George Quinn dan Mikihiro Moriyama. Quinn dalam esai “Kesempatan dalam Kesempitan? Bahasa dan sastra Jawa Sepuluh Tahun Pasca- Ambruknya Orde Baru” menemukan ada sejenis “ketergantungan” bahasa Jawa terhadap ulah birokrasi. Kadar ketergantungan ini kadang disiasati untuk menemukan pembebasan, tapi menemukan kerepotan dalam realisasi otoritas politik-kultural.

Nasib bahasa Jawa sebagai pelajaran sekolah, penerbitan koran atau majalah,dan pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa tidak bisa jadi jaminan mutlak untuk eksistensi atau dinamisasi bahasa Jawa. Seribu satu masalah ada dalam bahasa Jawa tanpa bisa “disembuhkan” dengan tuntas. Spirit untuk kebangkitan bahasa daerah justru dibuktikan melalui bahasa Sunda.

Moriyama dalam esai “Bahasa Daerah dan Desentralisasi pada Masa Pasca- Orde Baru”menguraikan pelbagai ihwal nasib bahasa Sunda dalam kodrat dinamisasi dalam bayangbayang politik dan sejarah politikkultural pada abad XVII dan XIX. Pengajaran bahasa Sunda di sekolah merupakan agenda dari kepentingan menghidupi dan ikhtiar penyemaian secara kultural. Pemberlakuan peraturan daerah tentang penggunaan bahasa Sunda juga ada sebagai bukti kekuatan politik dalam bahasa.

Spirit kebangkitan dan afirmasi atas otonomi daerah diungkapkan dengan gairah penulisan sastra (berbahasa) Sunda dan mengurusi pelbagai penerbitan koran atau majalah. Bahasa Sunda mendapati jalan dinamis, tapi harus menghadapi fakta-fakta perubahan dalam konteks keindonesiaan. Pengaruh itu pun menghinggapi potensi bahasa Sunda untuk menjadi realisasi dari ketegangan hasrat etnisitas atau negara-bangsa.

Pembaca juga disuguhi dengan deskripsi-analisis tentang nasib bahasa Osing,bahasa gaul,serapan bahasa asing, bahasa Bali, bahasa Kui, bahasa Sumbawa, dan bahasa China. Masing-masing bahasa memiliki dilema, sakit, dan kodrat untuk mati atau tumbuh dengan pengaruh-pengaruh dari perubahan sosial dan politik.

Deskripsi menarik justru ditampilkan dengan antusias melalui esai-esai tentang bahasa China usai keruntuhan Orde Baru.Minoritas China di Indonesia menemukan spirit kebebasan dari kekangan politik ala Soeharto. Ekspresi itu muncul dalam pemakaian bahasa China sebagai bahasa “terlarang” oleh ulah politik dengan vonis keterlibatan dalam peristiwa 1965. Stigma itu pudar dengan pelbagai kebijakan politik dalam masa reformasi. Nasib bahasa Cihna pun menemukan jalan untuk bersemi atau lungkah gara-gara sudah lama “terlupakan” dan “tersisihkan”.

Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo            

0 komentar: