Thursday, May 27, 2010

MENJADI GURU YANG DIRINDUKAN SISWA

Mencobalah untuk membaca karya orang, memahaminya, menyimpulkan dan akhirnya menirunya

Menjadi Guru yang Dirindukan Siswa

Oleh Winarsih
Kepala SMP Islam Al-Azhar Kelapa Gading, Surabaya

Istilah guru bisa diartikan digugu lan ditiru (dipercaya dan diteladani). Artinya, sosok guru sangat dipercaya oleh siswa dan segala perilaku guru dicontoh anak didiknya. Dalam pengertian itu, seorang siswa selayaknya mematuhi apa yang dikatakan dan diperintah guru.

Kenyataannya, yang demikian itu tidak selalu terjadi. Kondisi siswa yang heterogen sangat memungkinkan terjadinya suasana yang kurang bisa diharapkan.

Dalam satu kelas, ada beberapa tipe siswa. Ada, misalnya, tipe siswa yang sangat patuh. Tipe siswa inilah yang sering diharapkan pendidik. Guru tidak akan dibuat pusing oleh siswa tipe ini. Seandainya semua siswa dalam kelas termasuk tipe ini, alangkah tertibnya kelas dan betapa membahagiakan kondisi seperti itu.

Namun, dalam kelas hampir selalu ada siswa tipe lain. Yakni, siswa tipe tidak patuh dan sulit diatur. Dengan kehadiran siswa tipe tersebut, tidak mudah bagi seorang guru untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang nyaman.

Keberadaan dua tipe siswa yang bertolak belakang tersebut menciptakan perbedaan psikologis, khususnya kondisi emosi, guru terhadap siswa. Jika guru mengajar siswa tipe pertama, suasana hati guru senang. Sebaliknya, jika akan mengajar kelompok siswa tipe kedua, guru akan merasa terbebani. Bahkan, tak jarang guru merasa berat hati mengajar kelompok siswa tipe tersebut.

Kondisi begitu ternyata memengaruhi metode pembelajaran terhadap siswa. Guru cenderung memilih metode pembelajaran yang kurang sistematis. Sebab, guru berpikir percuma menerapkan metode pembelajaran yang tertuang dalam RPP. Akibatnya, penyampaian materi jadi amburadul dan tidak sistematis. Dampaknya, siswa tidak memperoleh pengalaman belajar sebagaimana yang diinginkan guru setelah proses mengajar.

Jika kondisi begitu dibiarkan, apalagi kalau sampai menjadi model pembelajaran si guru, bisa dipastikan siswa tidak akan belajar. Siswa akan bosan dan ujung-ujungnya tidak menyukai si guru dan pelajaran yang diajarkannya.

Padahal, bila siswa tidak menyukai pelajaran, sulit diharapkan mereka berprestasi dalam pelajaran tersebut. Demikian pula, jika siswa tidak menyukai guru, jangan harap mereka berdisiplin saat si guru mengajar. Guru akan kian sulit mengelola kelas. Suasana kondusif untuk belajar akan kian sulit diciptakan.

Kalau sudah begitu, tak jarang guru akan mengambil jalan kekerasan. Bisa marah, memukul, membanting pintu, bahkan keluar dari kelas. Jika itu terjadi, bukan suasana kondusif yang muncul, tapi kebencian siswa terhadap guru kian menumpuk. Doa buruk mungkin akan dilontarkan siswa terhadap gurunya dalam kondisi tersebut. Bahkan, mungkin saja guru akan dikeroyok siswa, dilaporkan ke polisi, dan lain-lain.

Tentu, yang begitu tidak seharusnya terjadi. Pertanyaannya, bagaimana solusinya? Sebagai guru, kita harus siap menghadapi segala tipe siswa dalam kelompok siswa yang heterogen. Kita harus menyadari bahwa siswa adalah individu yang unik. Siswa mungkin tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan. Gurulah yang harus menciptakan kondisi agar siswa mengerti apa yang harus mereka lakukan. Di sinilah peranan penting pemilihan metode pembelajaran yang tepat.

Kian kreatif guru memilih metode pembelajaran tiap kali menyampaikan materi, kian kecil kemungkinan siswa bosan mengikuti pelajaran. Guru akan lebih mudah menciptakan suasana kondusif dan siswa akan lebih mudah dikondisikan. Pengelolaan kelas akan berjalan dengan baik. Dampaknya, siswa akan belajar setelah guru mengajar.

Jika hal itu sudah tercipta, kita akan lebih mudah menaklukkan siswa. Siswa akan merindukan kehadiran guru di kelas. Siswa akan haus materi pelajaran yang dibawakan si guru. Bisa dibayangkan, betapa indah saat kita berada di posisi guru yang dirindukan siswa. (soe)

0 komentar: