Friday, September 30, 2011

Desain Pendidikan di Malaysia

Oleh :WIYONO, S.Pd
wiyonospd-civiceducation.blogspot.com
 
Selama dua hari awal minggu ini (27-28 September 2011) mengikuti acara seminar Majelis Dekan-Dekan Pendidikan di Universiti Putra Malaysia (UPM), Serdang, Selangor (sekitar 5 km selatan Kuala Lumpur). Acara seminar diadakan oleh forum fakultas-fakultas pendidikan universitas negeri di Malaysia, yang tidak lain adalah lembaga-lembaga penghasil guru sekolah menengah di Malaysia karena universitas swasta disini memang tidak  diberikan ijin untuk mendirikannya. Sedangkan untuk guru sekolah dasar dipasok oleh institut pendidikan guru (IPG) yang berada di bawah kementrian pendidikan. Seperti biasa di satu konferensi, ditampilkan berbagai hasil riset yang sedang atau telah dikerjakan oleh mahasiswa pascasarjana dan staf dosen dalam sesi paralel di ruang kelas; disamping itu juga terdapat acara beberapa kuliah umum untuk semua peserta yang menampilkan hasil riset dengan kualitas berbeda atau ide-ide baru dari pakarnya. Tulisan ini menampilkan apa yang saya baca dan dengar dari dikusi di seminar khususnya tentang desain pendidikan Malaysia yang jadi wacana, terbagi dalam dua hal saja yaitu tentang rekonfigurasi sistem sekolah dan pendidikan serta karir guru. Moga-moga bisa memberikan gambaran sekilas bagi anda tentang pendidikan negeri jiran ini.


Dari segi populasi orang yang berkecimpung dalam sistem persekolahan di Malaysia, hampir jumlahnya adalah 10% dari yang ada di Indonesia. Jumlah total murid di Indonesia yang mencapai 50 juta lebih, maka di Malaysia jumlahnya sekitar 5 juta jiwa lebih; demikian juga untuk guru di Malaysia yang mencapai 400 ribu orang dan jumlah sekolah yang 10 ribu buah. Artinya memang beban anggaran dan kompleksitas mengurus yang 10% dari kita tersebut memang tidak sebanding dengan yang biasa dihadapi Indonesia. Malaysia menganggap bahwa sistem pendidikan yang dijalankannya telah berhasil dan memberikan keuntungan yang bernilai pada negara, sejak mereka merdeka tahun 1957 lalu. Misalnya dalam hal pendapatan perkapita yang sudah diatas rata-rata negara berkembang lain (US $ 7500 per tahun, sedangkan Indonesia masih US$ 3500), fasilitas kesehatan yang lebih bagus ataupun konektivitas sistem transportasi yang lebih efektif. Malaysia juga dianggap sebagai contoh negara dengan mayoritas berpenduduk muslim yang menunjukkan kemajuan signifikan dan jadi patokan bagi negara Islam lain, dengan tampilan ikonik seperti Menara kembar Petronas atau pusat pemerintahan baru di Putrajaya.

Seperti biasa, Malaysia ingin menjadi lebih baik lagi; dan mereka menetapkan bahwa tahun 2020 harus menjadi negara maju (dengan target pendapatan perkapita menjadi US$ 15 ribu), disertai beberapa indikator lain seperti partisipasi warga negara dalam pendidikan tinggi yang melebihi 50% (saat ini sudah mencapai angka 41%, sedangkan Indonesia masih di bawah 20%); jumlah siswa sekolah menengah yang mengambil jurusan sains lebih dari 50% (mereka menargetkan 60% sejak dua tahun lalu, namun angkanya saat ini masih berkutat di 26%). Salah satu cara strategis untuk mencapai mimpi negara maju tentu melakukan transformasi secara besar-besaran sistem pendidikan publik yang ada. Sejak dahulu Malaysia melanjutkan sistem pendidikan yang merupakan warisan Inggris, mulai dari sistem sekolah sampai kepada menjadikan siswa yang berprestasi menjadi pengawas bagi teman-temannya (biasa disebut prefect di negara asalnya). Alasan perlunya perubahan diantaranya adalah menyusun kembali pengaturan yang telah ada; mengatur aliran kegiatan dan aksi; memperbarui supaya sesuai dengan kebutuhan di masa depan; dan tentu untuk melakukan perbaikan menyeluruh terhadap keadaan yang ada.

Yang pertama adalah melakukan rekonfigurasi sistem sekolah yang ada. Saat ini Malaysia meniru sistem yang diberlakukan Inggris dengan formulasi 6-5-2(1)-4; maksudnya adalah enam tahun sekolah dasar, lima tahun sekolah menengah, dua atau satu tahun pendidikan pra-universitas dan empat tahun untuk S1. Bila dilihat bagian antara sekolah dasar dan sekolah menengah (termasuk didalamnya pra-universitas) terdapat dua kelompok besar yang sangat kaku, yaitu satu kelompok siswa usia 7-12 tahun (sekolah dasar) dan satu lagi 13-19 tahun (sekolah menengah). Artinya terdapat jurang perbedaan yang besar yang menyebabkan tidak terlayaninya kebutuhan siswa secara khusus berdasar perkembangan kognitif dan emosional. Pengalaman saya mengunjungi berbagai sekolah menengah di Malaysia (yang merupakan gabungan SMP dan SMA kalau di kita), maka dengan populasi siswa yang besar (dua ribu murid lebih) dan beragam kelas yang harus dilayani, mempunyai potensi masalah disiplin dan pengaturan yang lebih kompleks (apalagi siswa yang dihadapi pada usia remaja yang dinamis dan tempramental). Pengelompokkan yang terlalu kontras ini memang terlalu besar untuk bisa dilayani sesuai dengan kondisinya, apalagi menggunakan jurus “one size fits all” bagi manusia yang berusia muda akan mempunyai dampak yang sifatnya irreversible. [catatan tambahan: sekolah di Malaysia tidak mengenal tinggal kelas, jadi dia akan terus naik sampai ke taraf kelas 11 untuk ujian akhir pendidikan wajib; diantaranya ada ujian nasional yaitu pada kelas 6 dan kelas 9, namun hasil ujian yang jelek (gagal) tidak membuat mereka tinggal kelas, resiko yang didapat adalah susah mendapat sekolah yang akan menerima mereka]

Usulan yang muncul adalah melakukan pengelompokkan siswa yang disesuaikan dengan perkembangannya; dua kelompok besar di atas, disusun ulang menjadi empat kelompok lebih kecil, yaitu first school (usia siswa 5-9 tahun), middle school (usia 10-13 tahun), junior high school (usia 14-16 tahun) dan terakhir high school (17-19 tahun). Saat ini Malaysia secara ketat menerapkan batas usia tujuh tahun memulai sekolah dasar (ada toleransi tujuh tahun kurang 1-2 bulan masih bisa), namun usia tujuh tahun dianggap sedikit lambat untuk masuk pendidikan formal dan dianggap terlalu besar untuk tetap berada di taman kanak-kanak (disini disebut tadika). Pengelompokkan usia sekolah menjadi empat kategori yang relatif tidak jauh beda tentu memudahkan guru untuk menyesuaikan cara pelayanan sesuai perkembangan siswa. Diantara keempat kelompok usia sekolah itu nantinya akan dikembangkan test formatif untuk menguji pencapaian hasil belajar yang diinginkan, yaitu dalam hal social skills untuk siswa yang telah selesai dalam first school, ujian baca-tulis-hitung untuk yang middle school, sedangkan bagi  junior high school adalah content subjects knowledge dan terakhir untuk high school adalah sesuai dangan jurusan dan spesialisasinya (misalnya sains, bahasa, sains sosial dll). Rancangan ini memang secara sengaja meniadakan ujian negara (public examination), dimana Malaysia seperti halnya Indonesia dan negara Asia lainnya, sistem sekolahnya exam oriented, dimana semacam ujian akhir nasional menjadi rujukan utama dan alat ukur yang dianggap paling valid untuk menentukan keberhasilan siswa dan memprediksi kesuksesannya di masa depan.

Hal selanjutnya yang ingin diubah dalam hal konfigurasi sistem sekolah adalah sehubungan dengan sesi sekolah, maksudnya adalah sekolah yang membuka jam belajar siswa di pagi hari saja (sampai siang) alias satu sesi (biasanya dimulai pukul 7.30 pagi sampai pukul 13.00 siang); ada juga sekolah yang membuka dua sesi dimana ada kelompok siswa lain yang datang ke sekolah dan belajar dari siang sampai sore (pukul 13.00 sampai 18.00) [catatan tambahan: guru di Malaysia biasanya diwajibkan datang 30 menit sebelum jam awal sekolah, dan baru boleh pulang sekitar satu jam setelah sekolah usai]. Saat ini terdapat sekitar 2000 sekolah (20%) di Malaysia yang masih menggunakan dua sesi, 80% lainnya sudah satu sesi saja. Bagaimanapun mengadakan dua sesi bisa berati menghemat sumber daya negara untuk membuat gedung sekolah baru dan rekrutmen gurunya, namun sudah lama disadari bahwa kualitas waktu yang dialami oleh siswa akan berbeda bila semua siswa masuk dalam satu sesi saja. Bila rancangan satu sesi sekolah diterapkan, maka susunan jam pelajaran yang nantinya akan diberikan kepada siswa adalah seperti berikut: mata pelajaran-1 (8-10 pagi), istirahat-1 (10.00-10.30), mata pelajaran-2 (10.30-12.00), klub pelajar (12-13), istirahat-2 (13.00-14.30), pelajaran bahasa dan agama (14.30-15.30), aktivitas ko-kurikulum (15.30-17.00).
Satu hal yang juga mencuat dalam ajang diskusi adalah adanya sistem sekolah berdasar bahasa ibu yang berbeda (disini disebut vernacular school system) yang ada di jenjang sekolah dasar di Malaysia. Disamping ada sekolah kebangsaan (sekolah dasar negeri yang menggunakan bahasa Malaysia), terdapat juga sekolah jenis kebangsaan cina (menggunakan bahasa Cina) dan sekolah jenis kebangsaan tamil (bahasa Tamil). Penggabungan (atau lebih tepatnya penghapusan dua jenis sekolah lain) ketiga jenis sekolah menjadi satu sekolah kebangsaan merupakan hal yang terwujud juga setelah lebih 54 tahun Malaysia merdeka, khususnya dari segi sumber daya yang digunakan (guru, dana rutin, kurikulum dll) semua berasal dari pemerintah pusat. Pelestarian bahasa dan budaya tentu bisa dilakukan dengan cara yang lain tanpa harus membuat struktur sistem sekolah yang menjadi rumit dan terlihat sebagai komunitas yang terpecah-belah.

Bagian kedua yang menjadi isu hangat adalah rekonfigurasi pendidikan guru di Malaysia. Seperti sudah disebutkan bahwa di Malaysia, untuk guru SD dipasok oleh Institut Pendidikan Guru (IPG); sedangkan guru sekolah menengah oleh fakultas pendidikan di universitas (keduanya pendidikan tinggi negeri). Sekolah di Malaysia mempunyai berbagai bentuk dan kompleks, ada sekolah kebangsaan dan jenis kebangsaan di pendidikan dasar, di taraf pendidikan menengah ada sekolah harian, sekolah asrama sekolah khusus sains, sekolah khusus untuk bumiputera (sekolah MARA) juga sekolah keterampilan. Dengan beragamnya jenis sekolah tersebut, namun kebutuhan guru hanya dipasok dari IPG dan universitas saja; dengan kata lain akan terdapat jurang keahlian dan keterampilan guru saat harus menangani siswa dengan kondisi yang khusus, artinya guru dituntut lebih dan menyesuaikan diri dalam konteks sekolah dimana dia ditempatkan saat pendidikan sebelumnya tidak memberikan yang sesuai.

Salah satu usulan yang dikemukakan adalah berdasar kepada usulan jenjang sekolah yang disebutkan sebelumnya; dan ini berarti bahwa pengkhususan pendidikan guru seperti oleh IPG dan fakultas pendidikan di universitas dalam taraf S1 tidak perlu dilakukan lagi. Malah diusulkan bahwa calon guru berasal dari lulusan S1 terbaik untuk kemudian dilanjutkan dengan pendidikan tambahan dua tahun (setara magister atau S2)  oleh fakultas pendidikan untuk disiapkan sesuai dengan minat dan jenjang sekolah yang akan menjadi tugas mereka. Artinya kualifikasi dan keahlian guru malaysia akan berubah dratis, yaitu lulusan S2 dan mempunyai prestasi akademik yang cemerlang.Oleh karena jenjang pendidikan akan berubah, maka sistem pendidikan guru pun harus mengikutinya; sehingga untuk yang first school (yang berisi keahlian dasar/fundamental skills) maka kurikulum pendidikan guru mencakup psikologi anak, sosiologi, psikologi sosial, antropologi, pendidikan jasmani, bahasa, aritmetika, pendidikan sains, pendidikan seni, pendidikan kesehatan, pendidikan agama dan moral dan lainnya; bagi middle school (pengetahuan dasar/basic knowledge) isi pendidikan guru mencakup konseling, evaluasi, bahasa, pendidikan sosial, pendidikan sains, menajemen kelas dll;  bagi guru di junior high school (liberal arts) adalah pendidikan dalam ilmu-ilmu murni dan pengetahuan budaya; sedangkan untuk yang akan mengajar di high school (spesialisasi dan pengkhususan/ streaming) mereka mempelajari pedagogi dan andragogi, studi kurikulum, penilaian dan evaluasi, spesialisasi disiplin ilmu dll.

Bila melihat penjelasan di atas terlihat rumitnya perubahan struktur pendidikan guru yang akan di lakukan di Malaysia nantinya. Misal untuk mendapatkan guru di high school maka mereka hanya akan merekrut calon guru yang memang terbukti punya prestasi akademik yang bagus dalam satu disiplin ilmu tertentu (misal dalam matematika, ekonomi, bahasa Inggris atau lainnya), baru mereka diperbolehkan untuk ikut pendidikan menjadi guru selama dua tahun. Sesuatu yang memang sudah diterapkan di negara yang menjadi juara dalam taraf pendidikan internasional seperti Finlandia. Pengkhususan ini juga akan mengidentifikasi calon guru yang cocok untuk taraf jenjang tertentu, misal lulusan S1 dalam sosiologi dan psikologi akan dinilai layak untuk jenjang first school dan middle school. Tentu diharapkan  guru-guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam mengajar dan fasilitasi pengetahuan akan membuat siswa yang diajarnya lebih efektif, juga akrab dengan pemanfaatan teknologi  dan media untuk pengajaran.

Hal berikutnya dalam hal rekonfigurasi guru adalah mengenai status dan jabatan guru. Untuk kedepan Malaysia akan menerapkan tiga buah jenjang status bagi guru yaitu, asistant teachermaster teacher dan chartered teacher.  Guru yang sudah lulus dengan gelar magister dan diterima bekerja di satu sekolah, maka statusnya adalah sebagai asistant teacher, guru tersebut harus menjalani masa ‘inkubasi’ minimal selama dua tahun, dimana tugasnya adalah menjadi guru bantu di dalam kelas bagi guru lainnya. Dengan cara ini sang asistant teacher menjalani magang sebagai guru dan menimba pengalaman berharga untuk menjadi guru profesional. Di dalam kelas terdapat satu orang guru yang mengajar, namun akan terdapat lebih dari satu orang yang membantu guru tersebut. Hasil riset menunjukkan pengalaman kerja dua tahun pertama sebagai guru adalah waktu yang sangat kritis dan menentukan efektivas kerjanya ke depan sehingga penyiapan mereka sebagai ‘guru bantu’ akan membentuk mereka menjadi lebih siap. Setelah magang diselesiakan dan dianggap siap sebagai guru, maka dia bisa mulai mengajar dan juga siap mengalami ‘proses sertifikasi’  yang menunjukkan keprofesionalan dia sebagai guru untuk kemudian diuji secara independen yang melibatkan pihak sekolah tempat dia bekerja menjadi seorang  master teacher. Kenaikan status ini juga bersamaan dengan promosi dan meningkatnya pendapatan, sehingga menjadi insentif yang menguntungkan bagi guru. Setelah  dalam satu periode tertentu maka sang master teacher bisa meminta untuk diuji taraf profesionalitasnya yang sudah lintas sekolah penilainya yang akan menjadi chartered teacher. 

Bila melihat rekonfigurasi yang diusulkan, sangat terlihat betapa ambisiusnya negara jiran kita ingin melakukan perubahan dalam sistem pendidikan mereka. Malaysia menyadari bahwa negara tetangga lain pun sedang melakukan berbagai perbaikan dalam sistem pendidikan mereka, dan dalam beberapa hal bisa menyaingi (yang berarti negara itu menjadi lebih baik, atau Malaysia sendiri mengalami kemunduran). Bila rancangan ini diterima, tentu akan terjadi perubahan struktur yang sangat mendasar dan berdampak hiruk-pikuk, bahkan mungkin ketegangan di berbagai pelosok negeri. Kalau dilihat secara sepintas, rasanya sulit untuk tidak setuju bahwa usulan yang diajukan memang pas dan cocok untuk dikerjakan khususnya dalam menghadapi persaingan global yang akan makin menentukan keberlangsungan suatu bangsa nantinya.

Sumber: Abdul Rashid Mohamed, “Time To Reconfigure The Malaysian Education System” Seminar Majelis Dekan-Dekan Pendidikan 2011, UPM.

sebelumnya sudah di publikasikan di:
KOMPASIANA

0 komentar: