Syafi’i, yang juga salah seorang deklarator Nasional Demokrat ini mengemukakan, betapa susahnya saat ini para pedagang kecil untuk mendapatkan pinjaman karena mereka tidak memiliki agunan. Padahal Indonesia adalah negara mengaku berdasarkan Pancasila, bukan kapitalisme. “Telah lama pecah kongsi antara kata dengan laku. Kata bisa Pancasila, UUD, dan agama, namun laku bicara lain,” katanya.
Mengutip Daniel Bell, Syafi’i menyatakan bahwa kapitalisme adalah peradaban yang tidak memiliki ontological security. Mereka kehilangan sesuatu yang bercorak transenden. Di sisi lain, entitas yang memiliki hal ini, yakni agama, pun tidak mampu memberi jawaban memadai terhadap permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Kondisi yang demikian, dalam pandangan mantan Ketua PP Muhammadiyah ini seperti jalan yang buntu. “Jadi saat ini manusia akan bertanya pada siapa?” katanya retoris.
Dalam penilaian Buya, ada penyakit yang diidap oleh pemimpin dan bangsa ini. Pemimpinnya memiliki kultur berpura-pura yang begitu amat parah. Dia bahkan menilai sudah lebih dari split personality. Cara berpikirnya pun dangkal. “Pemimpin kita berbicara seenaknya. Apa yang diucapkan dan apa ditulis tidak mewakili hati nurani,” tambahnya.
Disisi lain karakter bangsa ini pun semakin pudar. Masyarakat Indonesia begitu mudah marah, bakar, dan bahkan bunuh. Bangsa ini sangat keropos. Seolah kebangkrutan moral tengah melanda. Semua hal menjadi mata pencaharian. Politik jadi mata pencaharian, kekerasan jadi pencaharian, dan lain sebagainya.
Namun demikian Syafi’i mengajak semua yang hadir untuk tetap optimis. Meskipun masih sekadar potensi namun banyak orang-orang baik yang bisa diharapkan. Menurutnya, Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin baru dan cara kerja baru. Butuh ada perjuangan untuk memperbaiki kondisi bangsa ini guna mengembalikan national and character building seperti yang pernah didengungkan oleh Soekarno-Hatta dulu. (008)
Mengutip Daniel Bell, Syafi’i menyatakan bahwa kapitalisme adalah peradaban yang tidak memiliki ontological security. Mereka kehilangan sesuatu yang bercorak transenden. Di sisi lain, entitas yang memiliki hal ini, yakni agama, pun tidak mampu memberi jawaban memadai terhadap permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Kondisi yang demikian, dalam pandangan mantan Ketua PP Muhammadiyah ini seperti jalan yang buntu. “Jadi saat ini manusia akan bertanya pada siapa?” katanya retoris.
Dalam penilaian Buya, ada penyakit yang diidap oleh pemimpin dan bangsa ini. Pemimpinnya memiliki kultur berpura-pura yang begitu amat parah. Dia bahkan menilai sudah lebih dari split personality. Cara berpikirnya pun dangkal. “Pemimpin kita berbicara seenaknya. Apa yang diucapkan dan apa ditulis tidak mewakili hati nurani,” tambahnya.
Disisi lain karakter bangsa ini pun semakin pudar. Masyarakat Indonesia begitu mudah marah, bakar, dan bahkan bunuh. Bangsa ini sangat keropos. Seolah kebangkrutan moral tengah melanda. Semua hal menjadi mata pencaharian. Politik jadi mata pencaharian, kekerasan jadi pencaharian, dan lain sebagainya.
Namun demikian Syafi’i mengajak semua yang hadir untuk tetap optimis. Meskipun masih sekadar potensi namun banyak orang-orang baik yang bisa diharapkan. Menurutnya, Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin baru dan cara kerja baru. Butuh ada perjuangan untuk memperbaiki kondisi bangsa ini guna mengembalikan national and character building seperti yang pernah didengungkan oleh Soekarno-Hatta dulu. (008)
0 komentar:
Post a Comment