Menggugat Moral Kandidat Pemimpin Oleh Syamsuddin Muir
7 Mai 2010
Dalam ranah politik Islam, sistem pemilihan pemimpin, itu sudah tercermin pada masa pemilihan pemimpin pertama setelah wafatnya Rasulullah SAW. Para sahabat Nabi berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah membahas dan memilih pelanjut estafet kepemimpinan Negara Islam Madinah.
Pada pemilihan ini terdapat tiga kandidat pemimpin yang diusulkan. Dan pada akhirnya, Abu Bakar Siddik terpilih menjadi khalifah (pemimpin). Selanjutnya, pemimpin baru itu dibai’at di Masjid Nabawi. Pelaksanaan pemilihan pemimpin melalui musyawarah (syura) itu berlanjut hingga pemilihan khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib.
Dalam sejarah Islam, pemilihan pemimpin dalam berbagai lini jabatan pemerintahan, yang dipilih adalah orang mampu memimpin dan punya kepribadian diri yang mulia. Jadi, penilaian itu ada pada dua sisi, pada kemampuan dan pada moralitas. Ini sesuai dengan nasihat Imam al-Ashbahany, bahwa negara dan rakyat bisa menjadi baik, bila pemimpin dan ulamanya terdiri dari orang-orang baik. Dan kehancuran sebuah bangsa (negara) itu dimulai dengan kerusakan akhlak (moral) para pemimpin dan penduduknya yang dikuasai oleh hawa nafsu (QS al-Isra’: 16).
Saat ini, rakyat tanah air sedang dihebohkan dengan kandidat pemimpin yang belum pasti punya kemampuan dalam memimpin, tapi sudah pasti punya cacat moral (akhlak). Ada wanita calon pemimpin yang dikenal sebagai pengumbar hawa nafsu, dan ada pula wanita calon pemimpin yang dijuluki sebagai bandar narkoba. Dan rakyat pemilih serta partai yang mengusung para kandidat pemimpin itu perlu bertindak bijaksana dan rasional, agar tidak melakukan kekeliruan yang fatal dalam memilih dan mengusung kandidat pemimpin itu.
Tujuan Kepemimpinan
Dalam Islam, tujuan kepemimpinan ialah mendirikan ajaran agama dengan melaksanakan syariat Islam, dan mengurus kemaslahatan umat. Melaksanakan syariat Islam merupakan kewajiban utama bagi seorang pemimpin (Al-Haj: 41). Dan penerapan syariat Islam itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dalam kehidupan ini. Dan kemaslahatan utama dalam kehidupan manusia adalah menjaga agama, diri, akal, kehormatan, dan harta. Kemaslahatan yang hendak dicapai Islam dalam ke-pemimpinan itu merupakan kemaslatan dunia dan akhirat.
Tujuan mulia kepemimpinan itu tidak akan bisa tercapai, jika pemimpin tidak memenuhi syarat yang telah digariskan oleh Islam. Imam al-Mawardy dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyyah menjelaskan syarat seorang pemimpin. Di antaranya, pemimpin itu punya ilmu pengetahuan.
Dalam Islam, pemimpin bukan saja piawai dalam mengatur negara, tapi juga berpengetahuan luas dalam agama. Sebagaimana Khulafa’ al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali), mereka itu pemimpin yang juga ulama. Begitu juga para gubernur dalam pemerintahan Islam, seperti Amru bin al-’Ash, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khalid bin Walid, dan lainnya.
Jabir Qamihah dalam bukunya al-Mu’a-radhah Fi al-Islam menjelaskan, pemimpin adil ialah pemimpin yang adil pada dirinya (takwa), dan adil dalam menjalankan amanah kepemimpinan (An-Nisa’: 58). Adil pada dirinya (takwa) ialah pemimpin yang dekat kepada Tuhan, dirinya terhindar dari perbuatan maksiat, memiliki sifat wara’ (rendah hati) yang tidak terobsesi mengejar kepentingan dunia, dan dapat dipercaya dalam memegang amanah kepemimpinan. Dan adil dalam kepemimpinan itu juga menghendaki adil dalam aspek sosial (keadilan sosial), dan adil dalam menerapkan hukum.
Akhlak Pemimpin
Khalifah Ali bin Abi Thalib mengatakan, akhlak (moral) yang baik itu tercermin pada prilaku seseorang yang menghindari dirinya dari perbuatan yang terlarang, dan tetap konsisten mencari rezeki dengan jalan halal. Imam Yahya bin Hamzah al-Zammar menegaskan dalam bukunya Tashfiyah al-Qulub, bahwa akhlak mulia itu tercermin dalam sifat prilaku seseorang yang senantiasa bijaksana, yaitu bijaksana dalam bertindak dan berada dalam kebenaran serta terhindar dari kesalahan.
Akhlak atau moral seseorang itu berkaitan dengan akhlak kepada Allah SWT. Yaitu seseorang yang berakhlak mulia kepada Allah SWT itu adalah seorang yang taat menjalankan ajaran agama. Akhlak mulia dalam penerapannya juga berkaitan dengan akhlak kepada Rasulullah SAW. Yaitu seseorang berakhlak terpuji itu ialah orang yang konsisten mencontoh kehidupan Rasulullah SAW. Dan Rasulullah SAW merupakan seorang pemimpin yang mesti dijadikan teladan oleh setiap pemimpin Islam (Al-Ahzab: 21).
Rasulullah SAW seorang pemimpin yang hidup sederhana, dan memiliki sifat akhlah mulia (Al-Qalam: 4). Dan istrinya, Aisyah RA, mengatakan, akhlak Rasulullah SAW itu adalah penerapan Alquran dalam segala aspek kehidupannya (Abdul Halim Mahmud: Dala’il al-Nubuwwah). Implikasinya, pemimpin yang meneladani Rasulullah SAW itu adalah pemimpin yang berpegang dengan petunjuk Alquran dan Sunnah Nabi. Kepribadian akhlak mulia yang dianjurkan dalam Islam itu juga berkaitan dengan akhlak kepada manusia. Yaitu seseorang yang bermoral agung itu bergaul dengan manusia dengan budi pekerti yang baik.
Pemimpin Fasik
Imam al-Syaukani (Fath al-Qadir: 4/8) mengatakan bahwa fasik itu ialah seseorang yang tidak taat melaksanakan syariat Islam, dan dia juga melakukan maksiat. Dan Imam Ibnu Taimiyah (Majmu’ al-Fatawa: 7/637) menjelaskan juga bahwa sifat fasik itu dilabelkan kepada seseorang disebabkan tidak mengamalkan syariat Islam, dan atau disebabkan melakukan perbuatan yang dilarang dalam syariat Islam. Jadi, seseorang yang meninggalkan pengamalan syariat agama, seperti tidak salat, atau tidak mau membayar zakat, dan lainnya, dan atau seseorang melakukan maksiat berupa mengumbar hawa nafsu, melakukan zina, mabuk, pecandu narkoba, dan lainnya, maka seseorang itu diberikan label buruk, yaitu fasik.
Kedudukan orang fasik dalam masyarakat Islam telah dibicarakan oleh para ulama Islam terdahulu. Para ulama Fiqh dari Mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Syarh Muntaha al-Iradat: 1/257) menegaskan, bahwa seorang fasik tidak sah jadi imam dalam salat. Dan para makmum yang salat di belakang imam fasik itu wajib lagi mengulangi salatnya.
Pendapat ini berdasarkan kepada hadits Rasulullah SAW yang melarang orang fasik menjadi imam salat (HR Imam Ibnu Majah: 1/343). Fiqh Mazhab Imam Syafi’i (Mughni al-Muhtaj: 3/155) dan Fiqh Mazhab Imam Hambali (Syarh Muntaha al-Iradat: 3/18) juga tidak mengesahkan seorang fasik menjadi wali nikah.
Imam al-Jashshash (Ahkam al-Quran: 3/398) mengatakan, bahwa para ulama Islam sudah sepakat (ijmak) bahwa orang fasik itu tidak sah menjadi saksi dalam berbagai perkara yang memerlukan keberadaan saksi. Dan para ulama hadits juga menolak hadits yang diriwayatkan oleh orang fasik. Dan Imam al-Qurthubi (Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran: 1/233) mengatakan, mayoritas ulama Islam menegaskan bahwa tidak sah mengangkat orang fasik menjadi pemimpin.
Jadi, seseorang yang fasik itu bukan saja tidak sah diangkat menjadi pemimpin, tapi juga tidak sah menjadi saksi dalam akad nikah, tidak sah menjadi imam salat, dan juga tidak sah menjadi saksi dalam berbagai transaksi bisnis atau perkara yang memerlukan saksi. Wallahu a’lam.***
H Syamsuddin Muir Lc MA, Wakil Ketua Tanfiziyah NU Riau Anggota Komisi Fatwa MUI Provinsi Riau.
0 komentar:
Post a Comment