Oleh :WIYONO, S.Pd
wiyonospd-civiceducation.blogspot.com
sumber : Sawali .info
wiyonospd-civiceducation.blogspot.com
sumber : Sawali .info
Sesekali iseng-isenglah bertanya kepada kaum elite kita yang kini tengah berada dalam lingkaran kekuasaan: setelah kebangkitan nasional mencapai usia 103 tahun, adakah kemajuan bangsa yang sudah berhasil diwujudkan? Sudahkah rakyat hidup makmur dan sejahtera, murah sandang, pangan, dan papan di sebuah negara yang berdaulat penuh? Maka, tak usah heran kalau mereka seraya menepuk dada akan menjawab: “Mengapa tidak? Angka kemiskinan sudah jauh berkurang, pertumbuhan ekonomi kita bagus. Apa lagi yang mesti diragukan?” Lantas, ketika diburu dengan pertanyaan seputar penegakan hukum dan HAM, mereka masih saja menepuk dada dengan menyuguhkan jawaban-jawaban retorik: “Loh, kenapa mesti diragukan? Kita sudah berbuat yang terbaik dan akan berdiri di garda depan dalam pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan HAM.”
Ya, ya, ya! Selalu saja menggunakan konsep ke-“kita”-an untuk mendapatkan legitimasi dan pembenaran kolektif sebagai sebuah bangsa. Dengan menggunakan konsep ke-“kita”-an, mereka merasa telah menyuarakan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di sebuah negara demokrasi. Kaum elite kita tabu menggunakan konsep “kami” atau “saya” untuk menghindari kesan elitisme dan jauh dari rakyat. Mereka lupa bahwa di luar sana, masih ada jutaan rakyat yang terabaikan dan ternistakan yang “nyaris” tak pernah didengarkan suaranya. Ayat dan klausul hukum hanya indah dalam kitab undang-undang, tetapi esensinya justru menimbulkan luka bagi rakyat. Rakyat hanya “dimanjakan” dan disanjung-puji jika butuh dukungan suara untuk mengantarkan mereka pada puncak kekuasaan. Selebihnya, rakyat tak lebih hanya “slilit” yang harus dicampakkan. Jika perlu, sejauh mungkin dilenyapkan dari sela-sela gigi kekuasaan.
Kalau saja kaum elite kita mau “njajah milangkori”, menjelajahi kampung-kampung kumuh di pinggiran kota, blusukan ke pelosok-pelosok dusun, menyambangi anak-anak miskin dan telantar yang harus menahan kepedihan ketika didera kelaparan, maka mata hati dan nurani kaum elite kita dengan telanjang bisa menyaksikan kemiskinan akut yang menelikung kehidupan keseharian rakyat marginal yang ternistakan. Namun, siapa kaum elite negeri ini yang mau berpayah-payah bersentuhan dengan wong cilik? Siapa pula yang mau mendengarkan jeritan rakyat yang terzalimi secara struktural akibat kebijakan penguasa yang salah mengurus negara? Kaum elite mana lagi yang bisa dengan tulus memperjuangkan nasib wong cilik agar bisa ikut merasakan remahan kue pembangunan yang selama ini (nyaris) tak pernah menetes ke bawah?
Alih-alih berempati terhadap nasib wong cilik, uang miliaran pun lebih banyak dihambur-hamburkan untuk jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding yang belum tentu relevan dengan apa yang dibutuhkan rakyat banyak. Sungguh ironis sebuah negeri yang kaya nilai-nilai kearifan lokal justru harus berguru tentang pendidikan budi pekerti di tanah seberang yang belum tentu cocok jika diterapkan dalam ranah kultural negeri ini. Kaum elite
kita agaknya sudah “tebal muka” untuk menyaksikan derita rakyat dan nasib kaum dhuafa. Mereka sudah kehilangan kepekaan untuk sekadar mendengarkan jeritan lirih kaum marginal yang bertahun-tahun lamanya tersingkir dari pusaran arus ekonomi kerakyatan.
Pertanyaan yang tak pernah bisa terjawab, kenapa rakyat yang seharusnya didekati dan dirangkul justru dipameri sebuah tontonan naif dan arogansi kekuasaan yang amat menyakitkan nurani rakyat? Sungguh, para pendahulu negeri yang telah meletakkan fondasi kebangkitan nasional di tengah situasi yang tidak menentu saat itu, secara imajiner bisa jadi akan mengucurkan air mata darah ketika kaum elite kita telah kehilangan sikap kenegarawanan.
103 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sebuah bangsa untuk bangkit dari kebangkrutan moral dan nurani. Namun, agaknya bangsa yang besar yang dikendalikan oleh rezim yang telah kehilangan sikap kenegarawanan ini tak pernah mau belajar dari semangat dan etos kerja para pendahulu negeri dalam mengelola sebuah negara. Gerakan reformasi yang kini sudah memasuki usia ke-13 tahun yang seharusnya bisa menjadi gerakan kebangkitan nasional kedua pun dinilai telah kehilangan momentumnya.
Perpindahan rezim Orde Baru ke rezim reformasi yang digadang-gadang bakal mampu melakukan perubahan justru terninabobokan oleh situasi euforia yang memunculkan aktor-aktor kekuasaan baru yang justru bertentangan dengan tuntutan gerakan reformasi yang telah memakan banyak tumbal.
Tanggal 30 September 2006, penyair Wiji Thukul yang telah menjadi korban kebiadaban pihak-pihak yang tak senang kepadanya dan hingga kini masih belum jelas nasib keberadaannya, dengan nada perih menulis lirik berikut ini.
Ya, ya, ya! Selalu saja menggunakan konsep ke-“kita”-an untuk mendapatkan legitimasi dan pembenaran kolektif sebagai sebuah bangsa. Dengan menggunakan konsep ke-“kita”-an, mereka merasa telah menyuarakan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di sebuah negara demokrasi. Kaum elite kita tabu menggunakan konsep “kami” atau “saya” untuk menghindari kesan elitisme dan jauh dari rakyat. Mereka lupa bahwa di luar sana, masih ada jutaan rakyat yang terabaikan dan ternistakan yang “nyaris” tak pernah didengarkan suaranya. Ayat dan klausul hukum hanya indah dalam kitab undang-undang, tetapi esensinya justru menimbulkan luka bagi rakyat. Rakyat hanya “dimanjakan” dan disanjung-puji jika butuh dukungan suara untuk mengantarkan mereka pada puncak kekuasaan. Selebihnya, rakyat tak lebih hanya “slilit” yang harus dicampakkan. Jika perlu, sejauh mungkin dilenyapkan dari sela-sela gigi kekuasaan.
Kalau saja kaum elite kita mau “njajah milangkori”, menjelajahi kampung-kampung kumuh di pinggiran kota, blusukan ke pelosok-pelosok dusun, menyambangi anak-anak miskin dan telantar yang harus menahan kepedihan ketika didera kelaparan, maka mata hati dan nurani kaum elite kita dengan telanjang bisa menyaksikan kemiskinan akut yang menelikung kehidupan keseharian rakyat marginal yang ternistakan. Namun, siapa kaum elite negeri ini yang mau berpayah-payah bersentuhan dengan wong cilik? Siapa pula yang mau mendengarkan jeritan rakyat yang terzalimi secara struktural akibat kebijakan penguasa yang salah mengurus negara? Kaum elite mana lagi yang bisa dengan tulus memperjuangkan nasib wong cilik agar bisa ikut merasakan remahan kue pembangunan yang selama ini (nyaris) tak pernah menetes ke bawah?
Alih-alih berempati terhadap nasib wong cilik, uang miliaran pun lebih banyak dihambur-hamburkan untuk jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding yang belum tentu relevan dengan apa yang dibutuhkan rakyat banyak. Sungguh ironis sebuah negeri yang kaya nilai-nilai kearifan lokal justru harus berguru tentang pendidikan budi pekerti di tanah seberang yang belum tentu cocok jika diterapkan dalam ranah kultural negeri ini. Kaum elite
kita agaknya sudah “tebal muka” untuk menyaksikan derita rakyat dan nasib kaum dhuafa. Mereka sudah kehilangan kepekaan untuk sekadar mendengarkan jeritan lirih kaum marginal yang bertahun-tahun lamanya tersingkir dari pusaran arus ekonomi kerakyatan.
Pertanyaan yang tak pernah bisa terjawab, kenapa rakyat yang seharusnya didekati dan dirangkul justru dipameri sebuah tontonan naif dan arogansi kekuasaan yang amat menyakitkan nurani rakyat? Sungguh, para pendahulu negeri yang telah meletakkan fondasi kebangkitan nasional di tengah situasi yang tidak menentu saat itu, secara imajiner bisa jadi akan mengucurkan air mata darah ketika kaum elite kita telah kehilangan sikap kenegarawanan.
103 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sebuah bangsa untuk bangkit dari kebangkrutan moral dan nurani. Namun, agaknya bangsa yang besar yang dikendalikan oleh rezim yang telah kehilangan sikap kenegarawanan ini tak pernah mau belajar dari semangat dan etos kerja para pendahulu negeri dalam mengelola sebuah negara. Gerakan reformasi yang kini sudah memasuki usia ke-13 tahun yang seharusnya bisa menjadi gerakan kebangkitan nasional kedua pun dinilai telah kehilangan momentumnya.
Perpindahan rezim Orde Baru ke rezim reformasi yang digadang-gadang bakal mampu melakukan perubahan justru terninabobokan oleh situasi euforia yang memunculkan aktor-aktor kekuasaan baru yang justru bertentangan dengan tuntutan gerakan reformasi yang telah memakan banyak tumbal.
Tanggal 30 September 2006, penyair Wiji Thukul yang telah menjadi korban kebiadaban pihak-pihak yang tak senang kepadanya dan hingga kini masih belum jelas nasib keberadaannya, dengan nada perih menulis lirik berikut ini.
Momok HiyongKita sangat berharap, kaum elite negeri ini bukanlah “momok hiyong” seperti yang digambarkan dalam lirik Wiji Thukul itu. Kita bermimpi negeri ini kembali bangkit menjadi sebuah negara-bangsa yang berperadaban tinggi, gemah ripah loh jinawi, rakyat dan kaum elite menyatu seperti tersirat dalam ungkapan “manunggaling kawula-gusti”, tiarap dan bergerak dalam denyut dan harmoni kebersamaan menuju sebuah tatanan hidup baru yang adil, makmur, dan sejahtera. Mungkinkah mimpi-mimpi itu bisa terwujud? ***
momok hiyong si biang kerok
paling jago bikin ricuh
kalau situasi keruh
jingkratjingkrat ia
bikin kacau dia ahlinya
akalnya bulus siasatnya ular
kejamnya sebanding nero
sefasis hitler sefeodal raja kethoprak
luar biasa cerdasnya di luar batas culasnya
demokrasi dijadikan bola mainan
hak azazi ditafsir semau gue
emas doyan hutan doyan
kursi doyan nyawa doyan
luar biasa
tanah air digadaikan
masa depan rakyat digelapkan
dijadikan jaminan utang
momok hiyong momok hiyong
apakah ia abadi
dan tak bisa mati?
momok hiyong momok hiyong berapa ember lagi
darah yang ingin kau minum?
0 komentar:
Post a Comment